Ohayou Gozaimasu Minna!! Wohoo udah nyaris satu semester berada di perantauan, tentunya udah banyak juga kisah yang dilalui. Yaa berhubung masih dalam susasana libur perkuliahan, nggak ada salahnya dong kalau saya nyeritain apa-apa yang udah saya lalui selama hampir setengah abad tahun di perantauan. hehehe :D
Saya
awali postingan ini dengan perkenalan diri. Ricky Dwi Bintanio, demikian nama yang
diberikan orang tua saya 18 tahun silam. Saya berasal dari Tanjungpinang, sebuah
ibukota di Provinsi Kepulauan Riau. Saat ini saya menetap di Pekanbaru, Kota berkuah bertuah
tempat saya menimba ilmu di bangku kuliah.
Tahun ini adalah
tahun pertama saya sebagai Mahasiswa di Universitas Riau (UR). Adapun program
studi yang saya ikuti selama satu semester ini adalah Program Sarjana (S1)
Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP). Adapun alasan saya
memilih jurusan ini, sebab menurut saya lulusan sosiologi memiliki peluang yang
cukup besar dalam mendapatkan pekerjaan—baik swasta maupun pemerintah. Selain
itu, saya menjatuhkan pilihan di jurusan tersebut karena terinspirasi dari
artikel sebuah blog yang memaparkan betapa asyiknya menjadi seorang sosiolog.
Menjadi seorang
sosiolog merupakan pekerjaan yang sangat menyenangkan. Setiap hari kita akan
menemukan harta karun hal-hal baru sebab di era globalisasi sekarang ini sering sekali kita
melihat fenomena-fenomena sosial yang menuntut kita untuk peka dan kritis
terhadap fenomena tersebut. Selain dituntut untuk peka dan kritis terhadap
fenomena global, menjadi seorang sosiolog juga harus dibarengi dengan
kepribadian yang sociable. Sebab
dengan memiliki kepribadian sociable
kita bisa terus menjaga interaksi sesama manusia karena pada hakikatnya manusia
adalah makhluk yang membutuhkan interaksi. Hal lain yang membuat saya tertarik
dengan jurusan sosiologi ialah bahwasanya Pemerintah daerah dan sejumlah
departemen seringkali membutuhkan disiplin sosiologi untuk mempelajari kondisi dan kebutuhan
masyarakat. Beberapa hal tersebutlah yang kemudian membuat saya tertarik.
Pada kuliah semester
pertama (2013), kecintaan saya di dunia sosial pun saya salurkan dengan
bergabung di sebuah organisasi kemahasiswaan seperti BEM (Badan Eksekutif
Mahasiswa) Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) khususnya di Dinas
Sosial dan Politik meskipun untuk mahasiswa semester satu baru menyandang
sebagai tim aktif (
magang), LSMI
(Lembaga Studi Mahasiswa Islam) Almadani FISIP UR pada bidang syiar sebagai tim
aktif (
magang), kemudian IMS (Ikatan
Mahasiswa Sosiologi), sebuah Himpunan Mahasiswa jurusan Sosiologi di
Universitas Riau (UR) untuk bidang sosial, serta IMTA (Ikatan Mahasiswa
Tanjungpinang), sebuah organisasi kemahasiswaan yang terdiri dari
Mahasiswa-Mahasiswi Tanjungpinang yang menetap di kota Pekanbaru, dimana dalam
organisasi tersebut saya ditempatkan pada posisi sekretaris bidang PSDM (Pemberdayaan
Sumber Daya Manusia). Saya sangat bersyukur bisa bergabung di empat
organisasi/himpunan Mahasiswa tersebut. Banyak hal yang saya dapat dan
pelajari, sehingga peran saya sebagai mahasiswa lebih optimal—tidak hanya
memperoleh ilmu dari dosen, namun juga dari pengalaman-pengalaman saya di
lapangan.
Seiring berjalannya
waktu, hal yang saya impikan ketika saya resmi menyandang gelar ‘S.Sos’ setelah
menamatkan kuliah kira-kira ± 3,8 tahun adalah menjadi Social Analytic ataupun Akademisi Sosiologi. Mengapa? Pertama,
saya senang melihat fenomena-fenomena global yang sedang maupun sudah terjadi. Kedua,
menurut saya Social Analytic dan
akademisi merupakan sebuah profesi yang berimbang—kita memahami teori dan kita
juga menguasai bagaimana praktiknya. Sehingga saat kita sharing ilmu
kepada seseorang kita bisa menyampaikannya dengan lebih maksimal. Namun, di
antara keduanya, menjadi akademisi merupakan pilihan yang paling utama. Saya ingin
menjadi tenaga pendidik (dosen) sosiologi khususnya pada konsentrasi
antropologi. Hal tersebut saya rasakan ketika di semester satu ini.
Saya menemukan khasanah keilmuan yang menarik pada disiplin ilmu tersebut.
Keinginan saya
menjadi tenaga pendidik tentunya tidak terlepas dari kondisi kampus tempat saya
menimba ilmu. Pertama dari segi dosen. Saya terinspirasi dari salah
seorang dosen di kampus saya yang memiliki tingkat kedisiplinan yang tinggi dan
cara mengajarnya yang tidak kaku, santai dan bisa membuat para Mahasiswa enjoy di ruang kelas. Hal tersebutlah
yang mendorong saya untuk bisa seperti atau lebih baik dari beliau.
Kedua,
jumlah dosen antropologi di Jurusan Sosiologi masih sangat minim. Bahkan pernah
saya berbincang-bincang dengan dosen yang saya sebutkan diatas, Dosen yang
bersangkutan pun juga mengeluhkan minimnya tenaga pendidik di bidang
antropologi.
Nah,
beberapa hal di ataslah yang membuat saya semangat dan yakin. Saya ingin
berpartisipasi memajukan kualitas pendidikan di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu
Politik nantinya. Saya ingin menanamkan konsep belajar mengajar yang lebih baik
dari sekarang.
S2 merupakan syarat
utama menjadi dosen. Hal inilah yang akan saya lakukan untuk menggapai
cita-cita tersebut. Jurusan Antropologi Universitas Gadjah Mada (UGM) Jogjakarta,
dikenal memiliki kualitas yang baik. Target saya adalah setelah lulus S1 (maksimal
Oktober 2017) saya akan melanjutkan studi saya di jurusan dan universitas
tersebut. Selambat-lambatnya awal tahun 2019 saya telah menamatkan Magister
saya.
Sementara itu,
langkah-langkah yang telah dan sedang saya lakukan untuk menjadi tenaga
pendidik yakni mempersiapkan biaya untuk melanjutkan S2. Menurut informasi yang
saya peroleh dari dosen yang pernah kuliah di UGM, biaya kuliah di sana per semesternya
kira-kira Rp7juta, sehingga saya menargetkan biaya kuliah dan biaya terkait
lainnya selama dua tahun sebesar Rp40juta. Saya menyadari biaya dari orang tua
tidak bisa diharapkan seutuhnya karena masih ada abang dan adik-adik yang juga
lebih membutuhkan biaya pendidikan. Oleh karena itu, sedikit demi sedikit biaya
untuk kuliah S2 sedang saya tabung. Selain itu, informasi terkait dengan program
pascasarjana S2 UGM juga selalu saya
kumpulkan, baik dari dosen maupun via internet.
Aktifitas dalam
berorganisasi seperti yang saya sebutkan diatas juga sudah mulai saya lakukan sejak
semester satu hingga saat ini. Serta berbagai persiapan dalam menambah
pengalaman menjadi tenaga pendidik. Nah, pengalaman-pengalaman itulah
yang saya jadikan bekal. Setidaknya pengalaman tersebut dapat saya share
kepada para mahasiswa saya nantinya. Sehingga teori yang saya berikan memang
berdasarkan pengalaman real saya saat di lapangan. Meski demikian,
saya sadar pengalaman saya memang belum cukup. Namun, saya akan terus belajar
dan berusaha.